Thursday, June 21, 2012

Gadis-Gadis Malam


Malam ini hanya ada aku dan John di studio. Jon sibuk mendesain undangan, dikejar tenggat waktu. Sebaliknya, aku terkantuk-kantuk di depan computer, nganggur. Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, tapi hujan rintik-rintik dan suara keyboard Jon benar-benar meninabobokkanku. Ah, coba kami boleh tutup sekarang juga. Toh tidak ada pelanggan yang datang.

            Baru saja berpikir begitu, pintu studio terbuka. Tiga gadis masuk, langsung menyebar ke berbagai tempat di studio. Yang tampaknya paling tua pergi ke sudut, menemui Jon. Yang paling muda duduk di sofa tunggu di balik tirai hitam. Dan satunya lagi mendatangiku.

            "Bisa tolong masukin foto ke CD?" dia bertanya manis.

            "Bisa," jawabku, walau sebenarnya tak yakin. Aku fotografer di sini, bukan tukang cetak-edit foto. Aku juga belum pernah memasukkan apapun ke CD sebelumnya. Oke, ngaku, aku memang gaptek berat.

            Dia menyerahkan kamera digital, CD, dan USB. Setelah memasukkan foto-fotonya ke computer aku bertanya, "ini dimasukin semua?"

            Enggak. Yang ini, ini, sama ini saja," katanya, menunjuk tiga foto.

            Aku pun mencoba meng-copy foto-foto yang dimaksud ke CD. Seketika kami berdua terlonjak kaget. Cannot copy DSC0069: Files on this CD-ROM drive are read only. You cannot copy or move files over to this CD-ROM drive. Begitu tulisan yang muncul di computer, disertai bunyi dng! Memekakkan.

            "Kenapa, Ben?" tanya Jon, menoleh.

            "Enggak apa-apa," gumamku malu. Masak aku mau bilang enggak bisa masukin foto ke CD? Huh, gengsi lah!

            Kuputuskan untuk mencoba lagi. Gagal lagi. Coba lagi. Gagal lagi. Berkali-kali kucoba, komputerku tetap bandel, tidak mau mengikuti perintah. Cuma ngeluarin tulisan brengsek itu melulu. Sementara di sebelahku, si gadis tersenyum-senyum sendiri, seolah sedang menikmati lelucon pribadi.

            Setelah setengah jam, aku menghentakkan kaki, frustasi. Susah amat, sih? Aku baru akan mencoba untuk ke dua puluh empat kalinya ketika si gadis menyela, "EHM, Mas, maaf ya. Tapi kayaknya kalau CD-nya enggak di masukin CD-RW, enggak bakal bisa, deh."

            Aku menepuk dahi. Ya ampyunn... bego banget sih aku! Masak CD-nya malah kumasukin CD-ROM. Buru-buru kupindahkan lempengan itu ke tempat yang benar, sambil berkata, "Kok kamu enggak bilang dari tadi?"

            "Habis kirain sudah nyadar," jawabnya geli. Aku jadi malu sendiri. Dia pikir aku ngebanyol, ya?

            Begitulah awal perkenalan kami. Dimulai dari permintaannya dan dilanjutkan kebodohanku, kami berdua jadi akrab. Terlebih dia masih tinggal setelah urusannya selesai, menunggu kakaknya yang sedang diskusi seru dengan Jon. Kami pun sempat ngobrol sedikit.

            "Memang kakakmu mau nikah, ya?"

            "Mmm. Sekarang dia mau buat undangan"

            "Wah benar tuh, kalau buat undangan di sini saja. Desainnya bagus-bagus, lho. Bisa pasang foto, lagi. Kalau pesan lebih dari tiga ratus, dapat diskon," ujarku, tanpa sadar promosi. Dia hanya tertawa. Aih, imut luar biasa. Ada lesung pipit di pipinya.

            "Kamu sekolah dimana?"

            "SMA satu," jawabannya kalem.

            Aku mengangkat alis. "Kamu...sudah SMA, toh?"

            Ia tertawa lagi. Benar-bena gadis yang ceria. "Iya, dong. Baru masuk: kemarin."

            "Oh pantas. Dilihat dari mukamu, pantesnya kamu tuh masih SMP."

            "Berarti aku awet muda, dong?" candanya. "Nanti kalau sudah kuliah, aku masih kayak anak SMA. Terus kalau jadi ibu-ibu, aku kayak mahasiswi. Asyik banget!"

            "Aku enggak bermaksud muji, lho," aku menjelaskan. Kayaknya dia enggak sadar sih, kusindir. Dasar polos!

            "Omong-omong namamu siapa?"

            "Milane."

            "Wah, kayak klub sepak bola, dong."

            "Bukan M-I-L-A-N," ia meralat, "Tapi M-I-L-A-N-E. Mi-la-ne. E-nya enggak dibaca. Kakakku," Dia menunjuk kakaknya, "Namanya Alin, ditulis A-L-E-E-N-E. terus adikku, Tilane, T-Y-L-L-A-N," ia menjelaskan panjang lebar.

            "Ah, ribet banget, sih!" komentarku. Tapi sebelum Milane sempat menjawab, Aleena sudah memanggilnya pulang.

            "Makasih ya, Mas. Sori ngerepotin," kata Milane sambil beranjak pergi.

            Aku mengawasi mereka bertiga keluar dari studio. Tyllan menggerutu gara-gara kedua kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing, melupakannya. Pintu studio tertutup pelan. Aku kembali bengong sendirian. Sepuluh menit kemudian...aku sadar Milane belum membayar!

***

            Mereka datang lagi esok malamnya. Jam delapan lebih sedikit. Rupanya ini penyebab Jon mengumpulkan desain-desain undangan, karena Aleena mau memilihnya. Kali ini Tyllan ikut kakak sulungnya memilah-milah desain yang cocok.

            Milane? Dia menghempaskan diri di sebelahku sambil nyengir kuda.

            "Kemarin aku belum bayar, ya? Berapa?" tanyanya tanpa basa-basi.

            "Iya nih. Gimana, sih?" gurauku. Padahal aku kan juga lupa. "Dua ribu saja deh."

            Milane menyodorkan selembar uang seribuan dan dua keping lima ratusan. "Sori banget, ya. Tapi...kamu juga sih ajakin aku ngobrol, kan jadi lupa," katanya tak mau kalah. Wah, dia sudah enggak memanggilku "Mas".

            "Iya deeeh..." aku memasukkan uang itu ke laci, dan teringat sesuatu...Kubuka folder Milane di computer. Isinya tiga foto yang kemarin. "Aku sudah lihat foto-fotomu, lho. Lumayan juga. Kamu bikin sendiri?"

            "Iyalah!" jawab Milane bangga. Dibukanya salah satu foto. Tampak Aleene mengenakan baju lusuh, sedang mengayak beras. Di bawahnya Tyllan berjongkok, bermain dengan ayam yang memakan beras jatuh. Kalau melihat hasilnya, foto itu pasti diambil jauh dari atas mereka.

            "Ini aku ambil dari atas pohon," ujar Milane. "Aku sengaja motret beberapa daunnya, biar ketahuan kalau aku membidik dari pohon jambu." Milane menunjuk dedaunan di sudut kiri atas foto.

            "Hmm...jadi candid, ya?"

            "Ya enggaklah! Mana mau Aleene pakai baju begitu. Aku emang suruh mereka acting senatural mungkin. Bagus kan?"

            Banget, pikirku. Tapi karena gengsi aku cuma bilang, "Lumayan."

            Milane membuka foto selanjutnya. Yang ini berobjek ibu sedang memetik kopi sambil menggendong balita. "Ini kuambil di kebun kopi pinggir kota," kata Milane, menjawab dengan tepat pertanyaan yang belum kuajukan. "Kalau ini murni candid. Omong-omong, kamu pernah ke sana?"

            "Belum, " jawabku. Biasanya kami mengambil lokasi di hutan yang letaknya berlawanan arah dengan kebun kopi. Lagipula, jalan ke kebun kopi itu berliku-liku, terkenal rawan dan berbahaya. Kudengar beberapa bulan yang lalu ada kecelakaan di sana, semua korbannya tewas. Uh, aku enggak mau membahayakan nyawa hanya demi memotret di sana, terima kasih. Masih banyak tempat bagus lainnya.

            "Coba ke sana, deh. Banyak tempat bagus, lho. Kayak ini..." Milane membuka foto terakhir, di mana Aleene sedang tawar menawar (kelihatannya begitu) dengan seorang penjual bunga. "Ini kuambil di toko bungan di bawah pemakaman yang di belakang kebun kopi," Milanee berkata rinci.

            "Kok objekmu aneh-aneh, sih?" celetukku.

            Milane tampak bingung. "Mananya yang aneh?"

            "Ya,  biasanya anak SMA tuh sukanya motret teman-temannya gitu. Bukan orang ngayak beras, panen kopi, atau beli bunga di bawah pemakaman."

            Gadis itu tertawa renyah. "Biasanya aku juga motret teman-teman, kok," ujarnya. "Tapi kan kali ini aku buat foto untuk kampanye Make Trade Fair, jelas beda dong."

            "Trade Fair, gerakan yang mengusahakan kesejajaran di bidang perdagangan internasional," jawab suara melengking di belakang kami. Aku terlonjak kaget.

            "Tyllan, bikin kaget saja!" tegur Milane, sementara anak SMP  itu duduk di sebelahnya, terkikik geli.

            "Habis kalian mesra banget," goda Tyllan, lalu berbalik menatapku. "Milane mau ikut kampanye itu karena prihatin sama kesejahteraan petani. Sok deh," cibirnya.

            "Enggak juga," aku membela, "Bagus banget ada gerakan kayak gitu. Pamanku petani kopi tapi dia enggak kaya gitu, mungkin emang sudah waktunya diadain kampanye macam itu. Jelasin lebih banyak dong!"

            Tanpa kuduga-duga, kakak beradik itu menanggapi permintaanku dengan antusias (padahal barusan Tyllan sempat mengejek Milane). Mereka bercerita tentang perdagangan internasional, yang selama ini dibilang bagus, pada kenyataannya hanya menguntungkan negara maju. Sementara di sisi lain, banyak negara yang malah makin miskin karenanya. Bahkan Tyllan, yang setidaknya lima tahun lebih muda dariku, mampu menjelaskan bahwa sampai sekarang, masih banyak sekali petani penghasil barang dasar seperti kopi, cokelat, teh, bahkan susu, yang belum mendapatkan bayaran yang layak atas barang yang mereka hasilkan.

            "Sementara itu, "Milane menambahkan berapi-api, "Perusahaan yang mengolahnya semakin tahun semakin untung karena menjual pada konsumen dengan harga tinggi. Nah, Make Trade Fair bertujuan memperjuangakn keadilan bagi para petani, agar mereka labih makmur."

            Aku tercengang, sama sekali tidak menyangka bahwa di balik wajah mereka yang kekanakan, Milane dan Tayllan memiliki wawasan begitu luas. Semua yang mereka katakana sama sekali belum pernah kudengar sebelumnya. Mereka tahu dari mana sih?

            "Halo? Kamu masih disini?" Milane menggoyang-goyangkan tangannya di hadapanku, menyadarkanku dari lamunan.

            "Kami jelasin susah-susah kok malan ngelamun, sih?" gerutu Tyllan.

            "Ah, enggak. Aku cuma mikir, kalian hebat banget bisa tahu hal-hal kayak gitu."

            Keduanya tersipu-sipu, tampak manis sekali. Tiba-tiba aku ingin memotret mereka. "Hei, kalian mau kufoto, enggak?" tanpa kusadari aku sudah menawarkan.

            "Satu kali saja. Gratis deh."

            Milane memekik senang. Tyllan melompat bangun, buru-buru mengajak Aleene, yang rupanya belum menemukan desain yang sesuai seleranya.

            "Kami mau difoto di mana?" tanya Aleene.

            "Di sini saja, deh," ujarku, menunjuk sebuah sofa merah jambu. Ketiga gadis itu langsung menyerbunya. Terjadi keributan ketika masing-masing berebut duduk di tengah, biar keliatan paling jelas. Dasar cewek, narsis beraaat!

            "Foto yang bagus, ya," kata Aleene, merangkut adik bungsunya.

            "Buat kenang-kenangan, nih," ujar Tyllan bersemangat.

            "Mas," kata Milane lembut. "Foto kami yang cantik, ya."

            Aku mengacungkan jempol. "Siap ya? Satu...dua...tiga!"

            Jepret!

***

            Aku sedang menikmati secangkir kopi sebulan kemudian, sendirian. Jon sedang jalan sama pacar barunya yang menor itu. tiba-tiba seorang wanita masuk ke studio kami. Otomatis aku berdiri.

            "Ada yang bisa kami bantu, Bu?"

            Wanita itu tersenyum kecil. "Bisa tolong di-scan-kan ini?" ia menyerahkan sebuah majalah yang terbuka pada halaman tengahnya.

            "Oh, bisa, Bu. Silahkan duduk dulu," aku menawarkan kursi di sampingku.

            "Terima kasih," kata wanita itu, lalu duduk dengan anggun.

            Aku membaca sekilas halaman yang dimaksud wanita itu. 'Pemenang Lomba Foto Kampanye Trade Fair, begitu judul artikelnya. Aku melihat gambar di bawahnya, dan seketika jantungku serasa terhempas ke tanah. "Wah! Foto petani kopi ini kan..."

            "Karya almarhum putri saya," sambung si wanita, bangga sekaligus sedih.

            "Al...almarhum?" aku mengulang, tak mempercayai pendengaranku.

            "Sebentar lagi peringatan seratus hari meninggalnya Milane," ujar wanita itu. "Dia dan kedua putri kami yang lain, Aleene dan Tyllan, meninggal karena kecelakaan tepat setelah mengambil foto itu, hanya setengah kilometer dari kebun kopinya. Saya mengirimkan foto ini untuk mengenang kerja keras mereka. Sayang sekali mereka tidak tahu mereka menang...." Airmatanya mulai mengalir, ia mengelapnya dengan tisu. "Maaf, saya belum bisa mengatasi kesedihan saya. Mereka bertiga pergi begitu cepat....padahal harusnya minggu lalu Aleene menikah..."

            Aku tak sanggup berkata-kata. Kupandangi foto Ibu Petani Kopi itu lekat-lekat. Tiga bulan lalu? Tidak mungkin mereka meninggal tiga bulan lalu. Ketiganya datang kemari tanggal dua puluh delapan, di hari ulang tahun Pak Manajer, itulah kenapa hanya ada aku dan Jon di studio. Dan...tanggal dua puluh delapan itu...masih tiga puluh dua hari yang lalu!

            Lalu aku ingat. Aku telah memotret mereka! Buru-buru aku mebuka folder Milane. Kubuka foto mereka bertiga. Saat itu juga, aku merasa bagai diguyur air es.

            Padahal tadi malam aku sempat membukanya.

            Padahal tadi malam, aku masih mengagumi wajah manis mereka.

            Tapi kenyataannya....

            Sekarang dalam foto itu, hanya ada sofa merah muda.

***

 -Reisa-

No comments:

Post a Comment