Malam ini hanya ada aku
dan John di studio. Jon sibuk mendesain undangan, dikejar tenggat waktu.
Sebaliknya, aku terkantuk-kantuk di depan computer, nganggur. Jam baru
menunjukkan pukul tujuh malam, tapi hujan rintik-rintik dan suara
keyboard Jon benar-benar meninabobokkanku. Ah, coba kami boleh tutup
sekarang juga. Toh tidak ada pelanggan yang datang.
Baru saja berpikir begitu, pintu studio terbuka. Tiga
gadis masuk, langsung menyebar ke berbagai tempat di studio. Yang
tampaknya paling tua pergi ke sudut, menemui Jon. Yang paling muda duduk
di sofa tunggu di balik tirai hitam. Dan satunya lagi mendatangiku.
"Bisa tolong masukin foto ke CD?" dia bertanya manis.
"Bisa," jawabku, walau sebenarnya tak yakin. Aku
fotografer di sini, bukan tukang cetak-edit foto. Aku juga belum pernah
memasukkan apapun ke CD sebelumnya. Oke, ngaku, aku memang gaptek berat.
Dia menyerahkan kamera digital, CD, dan USB. Setelah
memasukkan foto-fotonya ke computer aku bertanya, "ini dimasukin semua?"
Enggak. Yang ini, ini, sama ini saja," katanya, menunjuk tiga foto.
Aku pun mencoba meng-copy foto-foto yang dimaksud ke CD. Seketika kami berdua terlonjak kaget. Cannot copy DSC0069: Files on this CD-ROM drive are read only. You cannot copy or move files over to this CD-ROM drive. Begitu tulisan yang muncul di computer, disertai bunyi dng! Memekakkan.
"Kenapa, Ben?" tanya Jon, menoleh.
"Enggak apa-apa," gumamku malu. Masak aku mau bilang enggak bisa masukin foto ke CD? Huh, gengsi lah!
Kuputuskan untuk mencoba lagi. Gagal lagi. Coba lagi.
Gagal lagi. Berkali-kali kucoba, komputerku tetap bandel, tidak mau
mengikuti perintah. Cuma ngeluarin tulisan brengsek itu melulu.
Sementara di sebelahku, si gadis tersenyum-senyum sendiri, seolah sedang
menikmati lelucon pribadi.
Setelah setengah jam, aku menghentakkan kaki, frustasi.
Susah amat, sih? Aku baru akan mencoba untuk ke dua puluh empat kalinya
ketika si gadis menyela, "EHM, Mas, maaf ya. Tapi kayaknya kalau CD-nya
enggak di masukin CD-RW, enggak bakal bisa, deh."
Aku menepuk dahi. Ya ampyunn... bego banget sih aku!
Masak CD-nya malah kumasukin CD-ROM. Buru-buru kupindahkan lempengan itu
ke tempat yang benar, sambil berkata, "Kok kamu enggak bilang dari
tadi?"
"Habis kirain sudah nyadar," jawabnya geli. Aku jadi malu sendiri. Dia pikir aku ngebanyol, ya?
Begitulah awal perkenalan kami. Dimulai dari
permintaannya dan dilanjutkan kebodohanku, kami berdua jadi akrab.
Terlebih dia masih tinggal setelah urusannya selesai, menunggu kakaknya
yang sedang diskusi seru dengan Jon. Kami pun sempat ngobrol sedikit.
"Memang kakakmu mau nikah, ya?"
"Mmm. Sekarang dia mau buat undangan"
"Wah benar tuh, kalau buat undangan di sini saja.
Desainnya bagus-bagus, lho. Bisa pasang foto, lagi. Kalau pesan lebih
dari tiga ratus, dapat diskon," ujarku, tanpa sadar promosi. Dia hanya
tertawa. Aih, imut luar biasa. Ada lesung pipit di pipinya.
"Kamu sekolah dimana?"
"SMA satu," jawabannya kalem.
Aku mengangkat alis. "Kamu...sudah SMA, toh?"
Ia tertawa lagi. Benar-bena gadis yang ceria. "Iya, dong. Baru masuk: kemarin."
"Oh pantas. Dilihat dari mukamu, pantesnya kamu tuh masih SMP."
"Berarti aku awet muda, dong?" candanya. "Nanti kalau
sudah kuliah, aku masih kayak anak SMA. Terus kalau jadi ibu-ibu, aku
kayak mahasiswi. Asyik banget!"
"Aku enggak bermaksud muji, lho," aku menjelaskan. Kayaknya dia enggak sadar sih, kusindir. Dasar polos!
"Omong-omong namamu siapa?"
"Milane."
"Wah, kayak klub sepak bola, dong."
"Bukan M-I-L-A-N," ia meralat, "Tapi M-I-L-A-N-E.
Mi-la-ne. E-nya enggak dibaca. Kakakku," Dia menunjuk kakaknya, "Namanya
Alin, ditulis A-L-E-E-N-E. terus adikku, Tilane, T-Y-L-L-A-N," ia
menjelaskan panjang lebar.
"Ah, ribet banget, sih!" komentarku. Tapi sebelum Milane sempat menjawab, Aleena sudah memanggilnya pulang.
"Makasih ya, Mas. Sori ngerepotin," kata Milane sambil beranjak pergi.
Aku mengawasi mereka bertiga keluar dari studio. Tyllan
menggerutu gara-gara kedua kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing,
melupakannya. Pintu studio tertutup pelan. Aku kembali bengong
sendirian. Sepuluh menit kemudian...aku sadar Milane belum membayar!
***
Mereka datang lagi esok malamnya. Jam delapan lebih
sedikit. Rupanya ini penyebab Jon mengumpulkan desain-desain undangan,
karena Aleena mau memilihnya. Kali ini Tyllan ikut kakak sulungnya
memilah-milah desain yang cocok.
Milane? Dia menghempaskan diri di sebelahku sambil nyengir kuda.
"Kemarin aku belum bayar, ya? Berapa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Iya nih. Gimana, sih?" gurauku. Padahal aku kan juga lupa. "Dua ribu saja deh."
Milane menyodorkan selembar uang seribuan dan dua keping
lima ratusan. "Sori banget, ya. Tapi...kamu juga sih ajakin aku ngobrol,
kan jadi lupa," katanya tak mau kalah. Wah, dia sudah enggak
memanggilku "Mas".
"Iya deeeh..." aku memasukkan uang itu ke laci, dan
teringat sesuatu...Kubuka folder Milane di computer. Isinya tiga foto
yang kemarin. "Aku sudah lihat foto-fotomu, lho. Lumayan juga. Kamu
bikin sendiri?"
"Iyalah!" jawab Milane bangga. Dibukanya salah satu foto.
Tampak Aleene mengenakan baju lusuh, sedang mengayak beras. Di bawahnya
Tyllan berjongkok, bermain dengan ayam yang memakan beras jatuh. Kalau
melihat hasilnya, foto itu pasti diambil jauh dari atas mereka.
"Ini aku ambil dari atas pohon," ujar Milane. "Aku
sengaja motret beberapa daunnya, biar ketahuan kalau aku membidik dari
pohon jambu." Milane menunjuk dedaunan di sudut kiri atas foto.
"Hmm...jadi candid, ya?"
"Ya enggaklah! Mana mau Aleene pakai baju begitu. Aku emang suruh mereka acting senatural mungkin. Bagus kan?"
Banget, pikirku. Tapi karena gengsi aku cuma bilang, "Lumayan."
Milane membuka foto selanjutnya. Yang ini berobjek ibu
sedang memetik kopi sambil menggendong balita. "Ini kuambil di kebun
kopi pinggir kota," kata Milane, menjawab dengan tepat pertanyaan yang
belum kuajukan. "Kalau ini murni candid. Omong-omong, kamu pernah ke
sana?"
"Belum, " jawabku. Biasanya kami mengambil lokasi di
hutan yang letaknya berlawanan arah dengan kebun kopi. Lagipula, jalan
ke kebun kopi itu berliku-liku, terkenal rawan dan berbahaya. Kudengar
beberapa bulan yang lalu ada kecelakaan di sana, semua korbannya tewas.
Uh, aku enggak mau membahayakan nyawa hanya demi memotret di sana,
terima kasih. Masih banyak tempat bagus lainnya.
"Coba ke sana, deh. Banyak tempat bagus, lho. Kayak
ini..." Milane membuka foto terakhir, di mana Aleene sedang tawar
menawar (kelihatannya begitu) dengan seorang penjual bunga. "Ini kuambil
di toko bungan di bawah pemakaman yang di belakang kebun kopi," Milanee
berkata rinci.
"Kok objekmu aneh-aneh, sih?" celetukku.
Milane tampak bingung. "Mananya yang aneh?"
"Ya, biasanya anak SMA tuh sukanya motret teman-temannya
gitu. Bukan orang ngayak beras, panen kopi, atau beli bunga di bawah
pemakaman."
Gadis itu tertawa renyah. "Biasanya aku juga motret
teman-teman, kok," ujarnya. "Tapi kan kali ini aku buat foto untuk
kampanye Make Trade Fair, jelas beda dong."
"Trade Fair, gerakan yang mengusahakan kesejajaran di
bidang perdagangan internasional," jawab suara melengking di belakang
kami. Aku terlonjak kaget.
"Tyllan, bikin kaget saja!" tegur Milane, sementara anak SMP itu duduk di sebelahnya, terkikik geli.
"Habis kalian mesra banget," goda Tyllan, lalu berbalik
menatapku. "Milane mau ikut kampanye itu karena prihatin sama
kesejahteraan petani. Sok deh," cibirnya.
"Enggak juga," aku membela, "Bagus banget ada gerakan
kayak gitu. Pamanku petani kopi tapi dia enggak kaya gitu, mungkin emang
sudah waktunya diadain kampanye macam itu. Jelasin lebih banyak dong!"
Tanpa kuduga-duga, kakak beradik itu menanggapi
permintaanku dengan antusias (padahal barusan Tyllan sempat mengejek
Milane). Mereka bercerita tentang perdagangan internasional, yang selama
ini dibilang bagus, pada kenyataannya hanya menguntungkan negara maju.
Sementara di sisi lain, banyak negara yang malah makin miskin karenanya.
Bahkan Tyllan, yang setidaknya lima tahun lebih muda dariku, mampu
menjelaskan bahwa sampai sekarang, masih banyak sekali petani penghasil
barang dasar seperti kopi, cokelat, teh, bahkan susu, yang belum
mendapatkan bayaran yang layak atas barang yang mereka hasilkan.
"Sementara itu, "Milane menambahkan berapi-api,
"Perusahaan yang mengolahnya semakin tahun semakin untung karena menjual
pada konsumen dengan harga tinggi. Nah, Make Trade Fair bertujuan
memperjuangakn keadilan bagi para petani, agar mereka labih makmur."
Aku tercengang, sama sekali tidak menyangka bahwa di
balik wajah mereka yang kekanakan, Milane dan Tayllan memiliki wawasan
begitu luas. Semua yang mereka katakana sama sekali belum pernah
kudengar sebelumnya. Mereka tahu dari mana sih?
"Halo? Kamu masih disini?" Milane menggoyang-goyangkan tangannya di hadapanku, menyadarkanku dari lamunan.
"Kami jelasin susah-susah kok malan ngelamun, sih?" gerutu Tyllan.
"Ah, enggak. Aku cuma mikir, kalian hebat banget bisa tahu hal-hal kayak gitu."
Keduanya tersipu-sipu, tampak manis sekali. Tiba-tiba aku
ingin memotret mereka. "Hei, kalian mau kufoto, enggak?" tanpa kusadari
aku sudah menawarkan.
"Satu kali saja. Gratis deh."
Milane memekik senang. Tyllan melompat bangun, buru-buru
mengajak Aleene, yang rupanya belum menemukan desain yang sesuai
seleranya.
"Kami mau difoto di mana?" tanya Aleene.
"Di sini saja, deh," ujarku, menunjuk sebuah sofa merah
jambu. Ketiga gadis itu langsung menyerbunya. Terjadi keributan ketika
masing-masing berebut duduk di tengah, biar keliatan paling jelas. Dasar
cewek, narsis beraaat!
"Foto yang bagus, ya," kata Aleene, merangkut adik bungsunya.
"Buat kenang-kenangan, nih," ujar Tyllan bersemangat.
"Mas," kata Milane lembut. "Foto kami yang cantik, ya."
Aku mengacungkan jempol. "Siap ya? Satu...dua...tiga!"
Jepret!
***
Aku sedang menikmati secangkir kopi sebulan kemudian,
sendirian. Jon sedang jalan sama pacar barunya yang menor itu. tiba-tiba
seorang wanita masuk ke studio kami. Otomatis aku berdiri.
"Ada yang bisa kami bantu, Bu?"
Wanita itu tersenyum kecil. "Bisa tolong di-scan-kan
ini?" ia menyerahkan sebuah majalah yang terbuka pada halaman tengahnya.
"Oh, bisa, Bu. Silahkan duduk dulu," aku menawarkan kursi di sampingku.
"Terima kasih," kata wanita itu, lalu duduk dengan anggun.
Aku membaca sekilas halaman yang dimaksud wanita itu.
'Pemenang Lomba Foto Kampanye Trade Fair, begitu judul artikelnya. Aku
melihat gambar di bawahnya, dan seketika jantungku serasa terhempas ke
tanah. "Wah! Foto petani kopi ini kan..."
"Karya almarhum putri saya," sambung si wanita, bangga sekaligus sedih.
"Al...almarhum?" aku mengulang, tak mempercayai pendengaranku.
"Sebentar lagi peringatan seratus hari meninggalnya
Milane," ujar wanita itu. "Dia dan kedua putri kami yang lain, Aleene
dan Tyllan, meninggal karena kecelakaan tepat setelah mengambil foto
itu, hanya setengah kilometer dari kebun kopinya. Saya mengirimkan foto
ini untuk mengenang kerja keras mereka. Sayang sekali mereka tidak tahu
mereka menang...." Airmatanya mulai mengalir, ia mengelapnya dengan
tisu. "Maaf, saya belum bisa mengatasi kesedihan saya. Mereka bertiga
pergi begitu cepat....padahal harusnya minggu lalu Aleene menikah..."
Aku tak sanggup berkata-kata. Kupandangi foto Ibu Petani
Kopi itu lekat-lekat. Tiga bulan lalu? Tidak mungkin mereka meninggal
tiga bulan lalu. Ketiganya datang kemari tanggal dua puluh delapan, di
hari ulang tahun Pak Manajer, itulah kenapa hanya ada aku dan Jon di
studio. Dan...tanggal dua puluh delapan itu...masih tiga puluh dua hari
yang lalu!
Lalu aku ingat. Aku telah memotret mereka! Buru-buru aku
mebuka folder Milane. Kubuka foto mereka bertiga. Saat itu juga, aku
merasa bagai diguyur air es.
Padahal tadi malam aku sempat membukanya.
Padahal tadi malam, aku masih mengagumi wajah manis mereka.
Tapi kenyataannya....
Sekarang dalam foto itu, hanya ada sofa merah muda.
***
-Reisa-
No comments:
Post a Comment